Monday, February 6, 2012

FIKIH REALISTIS


Moh. Nur Salim, Lc., M.S.I.
FIKIH REALISTIS
Kajian Tentang Hubungan antara Fikih dengan
Realitas Sosial pada Masa Lalu dan Masa Kini
hatiNURanikuPRESS


Blog: http://kangsalim79.blogspot.com, Email: aburoyyan96@gmail.com; salimira2006@yahoo.com


Islam adalah agama yang diturunkan Allah swt untuk umat manusia
yang mempunyai tujuan utama mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Islam memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik
berupa larangan maupun suruhan, meliputi seluruh aspek hidup dan
kehidupan manusia (Ali, 2000: 41). Ketentuan-ketentuan itu selanjutnya
disebut dengan syari’ah (Islamic law)1, yang memuat 3 (tiga) hal, yaitu alaħkâm
al-i’tiqâdiyyah2, al-aħkâm al-wujdâniyyah3, dan al-aħkâm al-
‘amaliyyah4 (Khalil, tt: 9).
Tulisan ini membahas permasalahan seputar al-aħkâm al-‘amaliyyah,
yaitu hukum syari’ah yang berhubungan dengan amal perbuatan seorang
muslim.
Hasil pemahaman tentang al-aħkâm al-‘amaliyyah disusun secara
sistematis dalam kitab-kitab fikih dan disebut hukum fikih (Ali, 2000: 43).
Sebagai hukum yang diterapkan pada kasus tertentu dalam keadaan
konkret, hukum fikih mungkin berubah dari masa ke masa dan mungkin
juga berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Ini sesuai dengan ketentuan
yang disebut dengan kaidah yang menyatakan bahwa perubahan tempat
1 Secara etimologis, syari’ah berarti jalan yang lurus. Sedangkan secara terminologis ia
berarti hukum-hukum Allah yang ditujukan kepada hambanya melalui perantara Rasul-Nya
(Khalil, tt: 8).
2 Al-ahkâm al-i’tiqâdiyyah yang dimaksud adalah yang berhubungan dengan keyakinan
seperti iman kepada Allah, Rasul, Malaikat, Hari akhir, dll. Semua ini dibahas dalam ilmu
kalam atau ilmu tauhid.
3 Al-ahkâm al-wujdâniyyah adalah yang berhubungan dengan akhlak, seperi zuhud, sabar,
ridha, dll. yang dibahas dalam ilmu tersendiri yang disebut dengan ilmu akhlaq atau ilmu
tasawuf.
4 Al-ahkâm al-‘amaliyyah adalah yang berhubungan dengan perbuatan seseorang, seperti
shalat, puasa, jual beli, zakat, dll yang menjadi objek bahasan ilmu fikih.
- 5 -
dan waktu menyebabkan perubahan hukum. Dari kaidah ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa hukum fikih itu cenderung relatif, tidak absolut (Ali,
2000:47).
Berbicara mengenai isu seputar pemikiran fikih Islam, dalam core
pemikiran fikih Islam saat ini, nama Yusuf al-Qaradhawi dikenal sebagai
salah seorang ulama` terkemuka yang telah banyak mencurahkan tenaga
dan pikirannya dalam mengetengahkan fikih dengan format yang
kontemporer. Buku ini mencoba membahas secara spesifik mengenai sisi
pemikiran fikih al-Qaradhawi dalam menyikapi realitas sosial kekinian.
Realitas yang dimaksud di sini adalah segala yang ada di sekitar
kehidupan manusia dan mempunyai pengaruh, baik pengaruh positif
maupun negatif (al-Qaradhawi, 1997: 292). Realitas juga bisa diartikan
sebagai segala sesuatu yang membentuk kehidupan manusia dalam segala
lini kehidupan (Bu’ud, 2000, 43).
Pergeseran zaman yang cepat dibarengi pula dengan pergeseran
budaya anak zamannya, sehingga hal-hal yang berlaku pada zaman
terdahulu pada masa sekarang cenderung berubah, ditinggalkan dan
dianggap sudah kadaluwarsa. Dengan demikian, hukum-hukum Islam yang
bersandarkan pada realitas sosial masa lalu juga mengalami pergeseran,
sehingga hal itu menuntut adanya hukum baru, fikih baru, dan ijtihad baru
yang bergerak seiring perjalanan sejarah kehidupan.
- 6 -
Melalui kajian fikih yang peka terhadap realitas yang sedang berjalan,
tidak hanya memperkaya khazanah Islam, namun juga mampu
mengetengahkan solusi hukum yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Fikih atau hukum fikih yang sesungguhnya adalah yang realistis, dalam
arti berangkat dari realitas dan tidak mengabaikannya, serta terbangun
atas dasar realitas dan tidak berangkat dari ruang hampa. Di sisi lain,
ijtihad pada dasarnya berfungsi untuk memberikan justifikasi terhadap
suatu realitas kemasyarakatan (at-ta’thîr as-syar’i li al-wâqi’) sehingga ia
harus seiring sejalan dengan perjalanan realitas kehidupan (ar-Raysuni,
2000: 64).
Fikih al-Qaradhawi, ketika berbicara mengenai hubungan antara hukum
dengan realitas kekinian telah mengetengahkan produk-produk hukum
konkret, sebagai misal di antaranya adalah bahwa dalam fikih klasik
seorang wanita dilarang bepergian tanpa disertai mahramnya. Hukum
seperti ini tentunya sudah tidak lagi bisa diterima masyarakat modern.
Ijtihad sekarang, dengan melihat kondisi dan kebiasaan yang berlaku,
cenderung membolehkan perempuan bepergian sendiri karena kondisi
sudah aman dan tenang. Saat ini bepergian dengan alat transportasi massal
bisa mengangkut ratusan bahkan ribuan penumpang serta tidak melewati
gurun sahara dan padang pasir yang dikhawatirkan akan tertimpa bahaya
(al-Qaradhawi, 1999: 98).
- 7 -
Contoh lain yang dikemukakan al-Qaradhawi adalah dalam menyikapi
hadis Rasulullah tentang nishâb zakat, di mana Rasulullah pernah
menetapkan nishâb zakat melalui dua cara, yaitu dengan emas (20 Dinar)
dan perak (200 Dirham). Dalam hal ini Rasulullah tentunya menghendaki
nilai yang sepadan antara nishâb emas dan perak berdasarkan kebiasaan
dan kondisi saat itu. Pada masa sekarang, di mana harga perak anjlok
dibanding harga emas, satu-satunya cara terbaik dalam menentukan nishâb
adalah dengan emas, karena hal itu lebih memberi kemaslahatan (al-
Qaradhawi, 1994: 277-278).
Realitas ke-Indonesia-an tentunya juga perlu disikapi dengan fikih
Islam. Salah satu misal dalam hal ini adalah, realitas yang terjadi di kotakota
besar seperi Jakarta, di mana lalu lintas kendaraan sangat padat
sehingga seseorang bisa terjebak di jalan selama berjam-jam lamanya.
Dengan adanya kondisi yang demikian ini, bagaimanakah hukum fikih dalam
menjamak shalat karena macetnya lalu lintas?
Realitas lain yang juga menarik untuk dikaji dan disikapi dengan fikih
Islam adalah suatu tradisi di sebuah desa di Kabupaten Brebes, Jawa
Tengah, yang mempunyai mata pencarian membuat sanggul dan wig,
padahal mereka adalah muslim, di mana dalam ajaran Islam terdapat hadis
shahih mengenai larangan menyambung rambut yang tentunya tidak
membenarkan aktivitas mereka.
- 8 -
Jika menilik ke belakang dan mencermati perjalanan sejarah tasyri’
Islam, akan terlihat bahwa pada awal mulanya Islam tidak muncul dari
ruang hampa, ia adalah agama yang diturunkan dalam suatu masyarakat
yang mempunyai realitas sosial tertentu; masyarakat yang telah menyatu
dengan tradisinya sendiri. Arab, yang merupakan tempat diturunkannya
Islam, merupakan masyarakat yang telah mempunyai ritus-ritus, baik
dalam peribadatan, sosial, politik, hukum dan lain sebagainya.
Saat itu, Islam dihadapkan pada suatu realitas sosial, dan sejarah
meninggalkan bukti bahwa realitas sosial tidak dieliminasi Islam secara
keseluruhan. Bahkan, dalam sebuah buku yang ditulis oleh Khalil Abdul
Karim (1990) dipaparkan dengan jelas mengenai ritus-ritus sebelum Islam
yang akhirnya diadopsi oleh Islam. Hal itu memberikan suatu indikasi
bahwa Islam mempunyai cara tersendiri dalam memperlakukan/menyikapi
realitas sosial.
Paparan di atas memberikan bukti mengenai urgensi mengkaji realitas
untuk selanjutnya dijadikan sandaran dalam proses formulasi hukum dalam
rangka mengembangkan fikih kontemporer yang dinamis dan realistis.
Sebagai representasi pemikiran ulama terkemuka saat ini, persepektif
fikih Yusuf al-Qaradhawi dalam menyikapi realitas sosial kekinian akan
dikaji dalam tulisan ini.
- 9 -

No comments:

Post a Comment